Dalam sebuah perbincangan, seorang kawan berkata, mungkin Tuhan memang tak sempurna menciptakan alam semesta. Ketidaksempurnaan itulah yang membuat banyak sekali bencana alam, seolah bumi sedang bermetamorfosis menuju “kesempurnaan”.
Atau sebaliknya, bumi sudah mencapai titik puncak kesempurnaannya dan sekarang sedang berbalik menuju kehancuran. Seperti teori kehidupan di mana ada fase tumbuh di keping waktu tertentu, lantas menuju fase kematian di keping waktu berikutnya.
Ketika gempa melanda Aceh dan tsunami menyusul beberapa menit kemudian, siapa pun tersadar betapa bumi bisa menjadi kejam hanya dengan sedikit guncangan. Itu pun tak lebih dari pergeseran lempeng-lempeng di dalam perut bumi, yang hanya sepersekian bagian, sehingga tak terasa bahkan sedikit saja di bagian bumi yang lain. Bayangkanlah bila guncangan itu terjadi di seluruh permukaan bumi.
Mekanisme alam semesta membuat bumi berputar pada porosnya sambil berjalan mengelilingi matahari sebagai pusat orbit. Dengan putaran yang ritmis itulah kehidupan berlangsung dengan baik. Berkat putaran itu pula bumi menjadi hidup dan kita ikut hidup dalam kehidupan itu, dengan sumber energi yang memadai, udara dan atmosfer yang seimbang, suhu dan cuaca yang bisa diadaptasi. Kalau putaran itu dihentikan 1 detik saja, maka semua benda di permukaan bumi, termasuk kita, akan terlempar berhamburan.
Cara yang mudah untuk membayangkannya begini: anggaplah bumi adalah sebuah bus yang sedang mengangkut 20 penumpang, dan melaju 100 km/jam. Dalam kecepatan seperti itu, bus langsung mendadak dihentikan. Apa yang terjadi pada semua penumpang di bus itu? Pastilah terlempar.
Begitulah bumi, yang melesat tak kurang dari 107 ribu km/jam di angkasa raya. Sebuah kecepatan yang tiada bandingannya dengan kendaraan tercepat apapun ciptaan manusia. Bumi memang harus melesat dengan kecepatan sedahsyat itu untuk menyelesaikan satu putaran mengitari matahari dalam setahun. Pernahkah terbayangkan bahwa kita sedang berdiri, duduk, makan, tidur dan segala aktivitas lain sehari-hari, di permukaan sebuah benda yang bergerak 107 ribu km/jam? Dan menurut perhitungan para ilmuan, semua ini telah berlangsung selama lebih dari 5 miliar tahun!
Lantas mengapa mekanisme istimewa yang mahadahsyat dan mahaterjaga itu masih menyisakan kisah tentang kehancuran-kehancuran alam? Apakah itu semacam reaksi fisika yang memang harus terjadi dalam fenomena ini? Atau malah karena ulah manusia, sebagai makhluk paling pandai yang hidup di muka bumi?
Ada bencana yang harus dilihat dari sudut pandang alamiah, karena memang merupakan bagian dari proses bumi yang terus hidup, tumbuh dan bergerak. Sebutlah gempa dan gunung meletus, yang memang sulit disimpulkan sebagai akibat dari ulah manusia. Pada bencana alam seperti ini, orang akan menyebutnya sebagai “ujian dari Tuhan”.
Tetapi tak sedikit bencana yang bermula dari kecerobohan penduduk bumi sendiri, sehingga kurang tepat disebut sebagai bencana alam. Bila gunung runtuh dan longsorannya menenggelamkan sebuah kampung, maka itu mestinya disebut sebagai bencana manusia, ketika keruntuhan gunung tersebut disebabkan oleh gundulnya hutan yang ditebangi tanpa ampun, tentu saja oleh manusia.
Kearifan manusia kepada bumi memang sebuah kampanye yang terus didengungkan banyak kalangan. Apalagi tidak seorang pun yang bisa memprediksi, dengan umur setua sekarang, masih berapa lamakah bumi bisa bertahan? Menjaga bumi dari kehancuran harus dipahami seperti usaha menjaga kondisi sehat seorang manusia uzur.
Atau sebaliknya, bumi sudah mencapai titik puncak kesempurnaannya dan sekarang sedang berbalik menuju kehancuran. Seperti teori kehidupan di mana ada fase tumbuh di keping waktu tertentu, lantas menuju fase kematian di keping waktu berikutnya.
Ketika gempa melanda Aceh dan tsunami menyusul beberapa menit kemudian, siapa pun tersadar betapa bumi bisa menjadi kejam hanya dengan sedikit guncangan. Itu pun tak lebih dari pergeseran lempeng-lempeng di dalam perut bumi, yang hanya sepersekian bagian, sehingga tak terasa bahkan sedikit saja di bagian bumi yang lain. Bayangkanlah bila guncangan itu terjadi di seluruh permukaan bumi.
Mekanisme alam semesta membuat bumi berputar pada porosnya sambil berjalan mengelilingi matahari sebagai pusat orbit. Dengan putaran yang ritmis itulah kehidupan berlangsung dengan baik. Berkat putaran itu pula bumi menjadi hidup dan kita ikut hidup dalam kehidupan itu, dengan sumber energi yang memadai, udara dan atmosfer yang seimbang, suhu dan cuaca yang bisa diadaptasi. Kalau putaran itu dihentikan 1 detik saja, maka semua benda di permukaan bumi, termasuk kita, akan terlempar berhamburan.
Cara yang mudah untuk membayangkannya begini: anggaplah bumi adalah sebuah bus yang sedang mengangkut 20 penumpang, dan melaju 100 km/jam. Dalam kecepatan seperti itu, bus langsung mendadak dihentikan. Apa yang terjadi pada semua penumpang di bus itu? Pastilah terlempar.
Begitulah bumi, yang melesat tak kurang dari 107 ribu km/jam di angkasa raya. Sebuah kecepatan yang tiada bandingannya dengan kendaraan tercepat apapun ciptaan manusia. Bumi memang harus melesat dengan kecepatan sedahsyat itu untuk menyelesaikan satu putaran mengitari matahari dalam setahun. Pernahkah terbayangkan bahwa kita sedang berdiri, duduk, makan, tidur dan segala aktivitas lain sehari-hari, di permukaan sebuah benda yang bergerak 107 ribu km/jam? Dan menurut perhitungan para ilmuan, semua ini telah berlangsung selama lebih dari 5 miliar tahun!
Lantas mengapa mekanisme istimewa yang mahadahsyat dan mahaterjaga itu masih menyisakan kisah tentang kehancuran-kehancuran alam? Apakah itu semacam reaksi fisika yang memang harus terjadi dalam fenomena ini? Atau malah karena ulah manusia, sebagai makhluk paling pandai yang hidup di muka bumi?
Ada bencana yang harus dilihat dari sudut pandang alamiah, karena memang merupakan bagian dari proses bumi yang terus hidup, tumbuh dan bergerak. Sebutlah gempa dan gunung meletus, yang memang sulit disimpulkan sebagai akibat dari ulah manusia. Pada bencana alam seperti ini, orang akan menyebutnya sebagai “ujian dari Tuhan”.
Tetapi tak sedikit bencana yang bermula dari kecerobohan penduduk bumi sendiri, sehingga kurang tepat disebut sebagai bencana alam. Bila gunung runtuh dan longsorannya menenggelamkan sebuah kampung, maka itu mestinya disebut sebagai bencana manusia, ketika keruntuhan gunung tersebut disebabkan oleh gundulnya hutan yang ditebangi tanpa ampun, tentu saja oleh manusia.
Kearifan manusia kepada bumi memang sebuah kampanye yang terus didengungkan banyak kalangan. Apalagi tidak seorang pun yang bisa memprediksi, dengan umur setua sekarang, masih berapa lamakah bumi bisa bertahan? Menjaga bumi dari kehancuran harus dipahami seperti usaha menjaga kondisi sehat seorang manusia uzur.
Semoga kita terus bersahabat dengan alam.